Penerbit : Mizan
Judul Asli : Love in
a Headscarf
Buku ini merupakan memoar pencarian calon suami
dari Shelina, seorang muslimah Inggris keturunan Tanzania. Statusnya sebagai
muslimah berakidah kuat dipadu darah Asia yang menjunjung budaya timur serta
menjadi warga negara Inggris yang modern dan tentu saja negeri minoritas muslim
membuat kisah pencarian jodohnya unik dan menarik. Di dalam buku ini dipaparkan
bagaimana Shelina mulai menjalani perjodohan-perjodohan. Ternyata kaum muslim
keturunan Asia yang tinggal di negeri minoritas muslim masih menjunjung tinggi
perjodohan. Sangat berbeda dengan keadaan Indonesia yang juga negara Asia dan mayoritas
muslim, namun muda-mudinya justru kebanyakan mengadopsi budaya Barat dalam
pencarian jodoh – pacaran dan kencan. Padahal dalam Islam tidak ada istilah premarital relationship. Alhamdulillah
banyak juga muda-mudi yang kenal ngaji sudah meninggalkan metode pacaran itu,
dan memilih jalur ta’aruf melalui ustadz, kenalan atau keluarga.
Kembali ke cerita buku tadi. Menurut buku itu,
perjodohan tradisional dalam budaya Shelina selalu diperantarai oleh comblang,
yaitu Para Bibi, yang terdiri dari wanita-wanita tua yang sudah lama menikah,
punya banyak anak cucu dan perawan-perawan tua yang mengabdikan dirinya untuk
membantu gadis-gadis muda mencari jodoh. Tugas Para Bibi adalah mengumpulkan
kandidat-kandidat, pria dan wanita yang sudah siap menikah kemudian mengatur
pertemuan keluarga dengan orangtua pria dan wanita itu. Dalam Aturan Para Bibi
Gemuk no.1 disebutkan Sebuah tata cara
sosial yang memalukan bagi satu pihak jika menelepon pihak lain dan mengatakan,
“Hei, bagaimana kalau anak-anak kita jodohkan?”. Aturan no.2-10 merinci tentang aturan main
perjodohan tradisional, yang membuat saya cekikikan membacanya karena ternyata
pola pikir mereka mirip dengan pola pikir orang Indonesia tradisional, terlepas
itu perjodohan atau mencari sendiri. Seperti gadis yang harus lebih muda
dibanding lelaki, si gadis harus lebih pendek – bahkan saat memakai sepatu berhak tinggi, pendidikan harus lebih
rendah, harus berkulit lebih terang, gadis harus telaten, religius, pihak
wanita tak boleh maju duluan dan lain-lain.
Dalam buku ini dibahas tentang impian masa kecil Shelina
menemukan sang pangeran tampannya dan jatuh cinta pada pandangan pertama (seperti
beberapa muslimah Indonesia yang terbuai dongeng Cinderella waktu kecil) yang
kontradiksi dengan kata-kata imam masjid “Cinta hadir setelah pernikahan”. Dan karena
perjodohan dalam Islam bukan kawin paksa, namun kita boleh menolak jika calon
tak sesuai dengan kriteria, maka Shelina mematuhi aturan tradisi itu. Shelina
membuat daftar kriteria calon suaminya dan mengikuti proses perjodohan demi
perjodohan, yang belum berhasil. Sang ayah dengan bijak menasehati bahwa jika
ada 6 kriteria, 4 terpenuhi pun sudah sangat baik. Namun ada saja hal-hal
mengganjal yang jadi penyebab tidak berhasil. Ada yang tidak punya visa, tidak
bekerja, ada pula yang menolak karena Shelina terlalu pendek, ada yang menolak
karena Shelina berjilbab.
Dalam saat-saat harapan ditemukan Mr.Right itu
semakin suram, Shelina menggalau bersama Sara dan Noreen, temannya sesama
keturunan Asia yang juga masih lajang. Mereka menyebutnya sebagai enam tahap
mengasihani diri sendiri:
1.
Wanita (Muslim) Itu Mengagumkan
2.
Dimana Pria-Pria Yang Baik Itu?
3.
Mungkin Tak Ada Lagi Pria Baik-Baik Yang Tersisa
4.
Mungkin Kita Jenis Wanita Yang Salah
5.
Ya Tuhan, Kami Tak Akan Pernah Menikah
6.
Pria Sempurna Itu Ada di Luar Sana Hanya
Menunggu Kita
Shelina merinci dan memaparkan kegalauan mereka di tiap tahap itu. Saya
suka bab ini karena menurut saya pada saat-saat tertentu terlintas hal serupa
di pikiran saya. Ironis sekali.
Shelina juga
mencoba beberapa alternatif lain saking putus asanya dengan metode perjodohan tradisional
yang menurut Para Bibi sudah teruji itu. Pertama dia nekat mencari di kontak
jodoh via internet. Dari dunia maya sepertinya sudah cocok, namun setelah
kopdar, ternyata banyak ketidakcocokan ditemukan. Lalu dia dan Noreen mengikuti
sebuah acara kencan kilat yang harganya murah. Mereka membuat kesepakatan, jika
acaranya terlalu mengerikan, maka mereka akan kabur bersama-sama. Ternyata
diantara pria yang ikut, tidak ada yang sesuai. Lalu Shelina mengikuti acara kencan
kilat lain yang lebih mahal, dengan harapan para prianya lebih berkualitas.
Namun ternyata, peserta pria lebih sedikit dari yang dijanjikan, dan ada yang
keceplosan bahwa mereka sengaja dibayar untuk
hadir. Maka dia kapok juga dan sadar bahwa pria yang dicarinya tak akan
ditemukan di tempat-tempat seperti itu.
Lalu bagaimana
nasib Shelina? Akankah dia menemukan pangerannya setelah jumpalitan kesana-kemari?
Kalo endingnya ditulis disini ga seru
dong. Silakan baca sendiri.
Saya suka buku ini. Menurut saya ini buku yang
layak dibaca temen-temen muslimah yang sedang berikhtiar atau setidaknya
bercita-cita mencari jodoh secara Islami. Hitung-hitung hiburan menertawai diri
sendiri, karena beberapa bagian menohok secara pribadi. Sekaligus mengambil
hikmah dari kisah saudari kita sesama muslimah di negeri lain.
Menurut saya, setelah membaca buku ini dan pengamatan
saya terhadap fenomena sekitar, bisa disimpulkan beberapa hal dalam pencarian
sang pangeran:
- Kita harus bangga menyandang status sebagai muslimah yang berjilbab dan meninggalkan metode pacaran.
- Kita harus berikhtiar dalam mencari jodoh, meski jatuh bangun dan jangan lupa banyak berdoa.
- Jodoh itu misteri. Kadang datang dari arah tak terduga. Kita tak akan pernah tau sampai benar2 menemukannya. Maka, jangan langsung menolak tiap ada kesempatan, siapa tau memang itu jalannya. Kata pak ustadz, minimal diistikharahkan dulu. Asal tetap dalam koridor syariat yang benar.
- Cinta hadir setelah pernikahan. Cinta dibangun dalam pernikahan. Namun bukan berarti ga boleh mencintai sebelum menikah. Fathimah dan Ali saja sudah saling suka sebelum menikah. Hanya, jangan sembarang mengumbar kata cinta jika belum terucap akad. Karena belum tentu kan, dia yang akan benar-benar jadi pasangan kita? Pendam dulu. Sehingga gak ada fitnah jika ternyata bukan jodohnya. Kalo memang ternyata itu jodoh kita, kan romantis tu kalo bilang, “Mas, dulu sebelum menikah aku dah mencintai mas loh... Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan mas”. Yang dijawab oleh suami, “Oh, ya dik? Wah sama, aku juga. Aku juga dah cinta kamu sebelum kita menikah. Wah, kita mirip Ali dan Fathimah ya”. Terlepas si suami benar-benar jujur mengatakannya atau hanya ingin membahagiakan istri (karena suami baru bisa mencintai istri setelah menikah cukup lama), toh itu tetap indah. Lebih indah daripada sudah mengobral kata cinta dan rindu, karena dipikir kalo khitbah diterima tu dah 100% jadi nikah, eh.. ternyata ga jadi karena memang bukan jodohnya. Kasihan suami kita nantinya.
- Kadang memang terlintas mencoba hal baru jika metode teruji – lewat Para Bibi dalam buku ini, atau minta dicarikan ustadz/kerabat seperti kebiasaan akhwat di Indonesia – nampak tidak efektif menurut kita. Hanya saja, kita benar-benar harus tau risikonya. Hati-hati, karena kita wanita dan lagi-lagi syariat come first. Jika sudah tidak cocok atau ada yang mengganjal, tinggalkan saja.
- Menunggu secara pasif? Jika anda akhwat keren sekaliber Anna Althafunnisa seperti di novel KCB, mungkin saja karena sudah banyak ikhwan antri mengkhitbah. Tapi jika anda tergolong akhwat ‘biasa-biasa saja’, ga ada salahnya minta dicarikan ikhwan yang sholeh melalui ustadz atau kerabat untuk diproses ta’aruf. Untuk mengakselerasi proses penantian, karena wanita nilai tawarnya semakin rendah seiring bertambah usia. Memasukkan biodata ke B**** juga ga ada salahnya. Kita ga akan pernah tau darimana sang pangeran datang, sampai dia datang dan mengucap akad. Yang penting kita tetap ikhtiar (dengan benar) dan berdoa. Allah mencatat tiap usaha kita.
- Nembak duluan? Kalo ikhwan sih ikhtiarnya bisa lebih luas karena tak dibatasi norma budaya. Ikhwan boleh mengkhitbah akhwat yang disukainya. Apa akhwat ga boleh? Menurut agama boleh sih. Khadijah aja yang melamar Rasulullah dulu. Tapi norma budaya Indonesia, khususnya lagi di Jawa masih menganggap itu tabu. Jika memang benar-benar naksir seorang ikhwan karena agama dan kepribadiannya yang cocok dengan kriteria anda, kalo anda berani, boleh aja anda maju duluan. Ditolak? Ga papa, daripada ga pernah dicoba dan penasaran seumur hidup? Hehe, tapi saya pribadi belum seberani itu sih. Saya masih terikat dengan budaya juga. Jika sukanya bener-bener setengah mati dan belum lega kalo belum tau diterima atau ditolak (hehe), anda bisa juga mencoba melalui perantara (comblang) dan membuat trik seolah-olah tawaran datang dari pihak laki-laki (seperti dalam Aturan Para Bibi Gemuk no.3). Supaya ga malu jika ternyata si cowok ga tertarik sama anda. Yah, kembali lagi ke masing-masing pribadi sih.
- Jangan lupakan istikharah dalam segala proses ikhtiar kita. Ingat lagi, pilihan terbaik adalah pilihan Allah. Dan kita ga bisa memaksakan keinginan kita dengan berdoa, “Ya Allah jika dia jodohku dekatkanlah, jika bukan maka jodohkanlah, bila dia jodoh orang lain maka ceraikanlah, bila dia ga suka sama aku, jangan sampai dia dapat jodoh hingga dia kembali mau denganku”. Itu namanya egois. Hehe. Siapa yang hamba, siapa yang Tuhan? Doa kok maksa... Berdoalah diberi yang terbaik menurut Allah. “Bila memang dia jodohku maka dekatkanlah, bila bukan maka jauhkanlah dengan baik-baik. Cintakanlah aku dengan seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu. Berilah aku suami yang bisa memimpin aku dan anak-anakku meraih surga-Mu. Amin...”
- Jika segala ikhtiar dan doa dah dilakukan... Barulah kita tawakal, sabar. Selama menanti sang pangeran datang dengan kuda putihnya, upgrade diri. Kurangi kebiasaan-kebiasaan buruk, percantik pribadi, banyak belajar tentang fikih pernikahan, berkomunikasi lebih baik, berinteraksi dengan anak-anak untuk menumbuhkan naluri keibuan, belajar memasak dan skills standar lainnya sebagai seorang istri,belajar mendisiplinkan diri mengelola keuangan,dan lain-lain. Banyak yang harus disiapkan,girls... Realitanya, pernikahan bukan hanya penuh hal-hal romantis seperti layaknya pernikahan putri dongeng yang selalu diikuti dengan and they lived happily ever after. Pernikahan hanya awal dari cerita baru yang dimulai. Ada indahnya memang, tapi katanya masalahnya juga banyak (kata banyak orang yang dah menikah loh... Saya sih, belum tau...). Menyempurnakan separuh agama, separuhnya lagi, kita sempurnakan bersama pasangan kita. Co cwiiittt...
Yah,, akhirnya sampai juga di penghujung acara. Hehe. Maaf niatnya
resensi buku, eh malah jadi ngasih tips-tips berikhtiar mencari sang pangeran.
Kayaknya terbawa suasana juga. Hehe... Mari girls,
kita ikhtiar dengan benar... Jika ga segera dimulai, kapan lagi? Ingat, wanita
punya masa jaya, sebut saja golden period.
Seperti kata Salim A Fillah, waktu masih terlalu muda & masih minder (belum
masuk golden period) bilang “siapa
saya”? Pas lagi jaya-jayanya, usia ideal buat nikah, merasa kueren buanget-nget-nget
(dalam golden period) bilang “siapa
kamu”? Trus pas pesona mulai pudar (dah melewati golden period) bilang “siapa aja lah...” Bukan bermaksud sensi ya,,
ngingetin aja kalo masih dalam golden
period supaya tetap rendah hati dan ga meremehkan tiap kesempatan & lamaran
yang datang. Kalo dah lewat golden period?
Jangan putus asa, jangan sampe niat menikah itu hilang. Karena menikah adalah
sunah Nabi dan kehidupan merahib itu ga ada dalam Islam. Kemarin salut waktu
dengar cerita ada wanita usia 60an yang akhirnya tetep menikah supaya ga
dicoret dari kaum Nabi Muhammad. Padahal kalo dipikir, usia 60an dah menopause,
ga bisa dapat keturunan lagi juga. Usia 40 pun jadi masih terhitung muda kan? Apalagi
kalo masih kepala 2. Yuk semangat kawanz.... :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar