Berdasarkan suatu sumber,
kata-kata terpopuler tahun 2011 silam adalah... Yak benar sekali... GALAU!!!
Dimana-mana, mayoritas anak-anak muda mengeluh sedang galau. Dalam percakapan
sehari-hari, curhatan di radio, dunia maya, facebook, twitter, media cetak...
Ramai sekali mereka menyebut kata GALAU ini... Orang-orang dewasa pun ga
ketinggalan memakai kata ngetrend ini. Lalu musisi tanah air ikut-ikut juga.
Lagu-lagu galau baik tersirat (inti lagunya tentang kegalauan tanpa ada kata
‘galau’ dalam syairnya) maupun tersurat (jelas-jelas menyebut kata ‘galau’
dalam syairnya) lebih banyak dan lebih disukai dibanding lagu-lagu bahagia.
Seorang motivator populer yang suka jalan-jalan di atas emas (hehe..) pun
sering mengawali kata-kata motivasinya dengan “Engkau yang sedang galau
hatinya...” dan kalimat-kalimat senada.
Lalu sebenarnya apa sih galau itu? Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ‘galau’ didefinisikan sebagai sibuk
beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran). Well, menurut saya pribadi galau lebih
ke perasaan yang ga karuan dibanding pikiran yang ga karuan. Karena, pikiran
sering terdengar lebih logis, dan perasaan sering ga logis. Tapi perasaan ga
karuan pun jadi menyebabkan pikiran ga karuan juga. Ya udah lah ora popo
(Hehe... Njuk ngopo dibahas nek akhirnya ora popo?? Orceth tenan).
Apa yang membuat seseorang jadi galau? Banyak, banyak hal... Dan
itu sangat spesifik bagi tiap orang. Ga ada yang sama plek. Tapi yang serupa
banyak juga. Serupa tapi tak sama lah (Wah soyo orceth ki...).
Kelompok mayoritas (biasanya yang
mengeluh tentang ini anak-anak muda), tingkat sensitivitas kegalauannya terkait
dengan pasangan hidup. Ini juga macam-macam.
Yang masih single dalam artian belum berkeluarga (saya menggunakan istilah couple bila dah menikah, ya...) masih
dibagi lagi jadi beberapa macam. Yang kelompok single pro pacaran tapi belum punya pacar merasa galau karena ga
punya pacar. Hatinya menderita bila melihat teman-temannya gandengan kesana
kemari atau ada yang bilang ga laku (Sadis juga. Berat jadi anak muda jaman
sekarang).
Yang kelompok single pro pacaran tapi dah punya pacar
masih aja galau. Itupun macam-macam. Ada yang galau karena masih bertanya-tanya ‘benarkah
dia jodoh yg tepat untukku’? Ada yang dah ngebet nikah tapi keadaan belum
memungkinkan (orangtua belum mengizinkan, belum lulus). Ada yang galau karena
cemburu buta. Ada juga yang galau karena pacarnya ga SMS atau nelpon (ce: Apa sih
susahnya ngomong? Telpon ga pernah... SMS ga pernah... co: Aku ga punya
pulsaaa... ;p).
Sedangkan kelompok single anti pacaran ternyata bisa juga
galau. Jangan kira makhluk-makhluk yang kerap disebut ikhwan dan akhwat ini
bebas galau terkait pasangan hidup. Beda-beda juga.
Dibanding akhwat, ikhwan galaunya lebih nampak. Ada ikhwan yang galau
karena dah bener-bener siap nikah, tapi dah mengkhitbah 27 akhwat ditolak terus
(kasian banget sih. Hiks). Ada ikhwan yang galau, dah siap nikah, tapi belum
berani maju mengkhitbah. Ada pula yang galau karena menyukai seorang gadis yang
berbeda prinsip dan ustadz ngajinya lebih merekomendasikan akhwat-akhwat lain
yang menurut sang ustadz ‘dah jadi, dah
sholehah, ga perlu banyak mbimbing dari awal lagi’. Ada pula ikhwan yang lagi
semangat-semangatnya belajar agama dah pingin nikah jadi galau karena ortunya
belum mengizinkan, karena si ikhwan masih kelas 1 SMA (ikhwan brondong ngebet
nikah. Hehe).
Kalau akhwat, biasanya galaunya lebih tersembunyi, kecuali
akhwat-akhwat tertentu (siapa yaa... lirik kanan, lirik kiri... hehe). Ada
akhwat yang galau karena dah siap nikah tapi belum ada ikhwan yang mengkhitbah
(sabar yaa.. hiks). Ada akhwat mirip keadaannya, dah ada yang mengkhitbah, tapi
ga ada yg masuk kriterianya sama sekali. Well, wanita berhak memutuskan yang terbaik kan. Tapi akhwat itu galau juga, apakah kriterianya terlalu melangit,
apakah kelak ada ikhwan yang datang lagi? Ada pula akhwat yang dah
dikhitbah banyak ikhwan tapi harus berkali-kali menolak karena ortunya belum
mengizinkan. Ada akhwat yang terjebak rasa cinta irasional,
meski akal dan prinsip mengatakan tidak, tapi ego dan nafsu mengatakan mau,
pertentangan dalam dirinya itu membuat galau. Ada pula akhwat yang galau hanya untuk memutuskan apakah mau berikhtiar
minta dicarikan ustadzah/kerabatnya atau pasif menunggu saja sang pangeran
datang dengan kuda putih.
Apakah setelah jadi couple kegalauan hilang? Yang sudah couple bisa juga galau. Ada yang kegalauannya
karena cemburu pada pasangan, apakah itu karena ada bau-bau affair, karena pasangan lebih suka mementingkan
orangtua dan saudaranya, atau karena pasangan lebih suka mementingkan pekerjaan
dan hobinya dibanding keluarga. Ada yang galau karena merasa pernikahan hambar
dan ga ada chemistrynya lagi setelah
bertaun-taun. Ada yang karena jatuh cinta lagi namun merasa galau karena ingat
statusnya dan merasa mengkhianati pasangan. Ada juga yang karena pasangan
melakukan KDRT. Yah, masalah cinta memang peringkat pertama yang menimbulkan
kegalauan.
Setelah masalah cinta, ada
sekelompok orang yang tingkat sensitif kegalauannya jika terkait dengan pekerjaan.
Itu pun macam-macam juga. Ada yang merasa pekerjaan yang dijalaninya bukan
‘soul’nya sehingga ga menikmati, meski ga melelahkan dan penghasilannya besar.
Ada yang merasa pekerjaannya melelahkan dan penghasilannya ga sebanding. Ada yang
merasa kerja dah enak, menikmati, penghasilan lancar, tapi merasa galau setelah
mendapat info bahwa pekerjaannya ga sesuai dengan wetonnya (Kamu lahir Jumat Wage. Seharusnya kamu menghindari
pekerjaan yang berkaitan dengan air. Weleh weleh... ;p). Ada pula yang galau
kenapa ga dapat kerja juga meski pendidikannya dah tinggi dan nilai selama
kuliah juga excellent.
Selain pasangan hidup dan
pekerjaan, ada juga yang tingkat sensitivitas galaunya berkaitan dengan body image. Ini biasanya dialami oleh para
remaja putri yang belum matang, yang dah berpikiran dewasa biasanya ga mikir
lagi masalah fisiknya, yang penting sehat. Ada yang galau karena merasa terlalu
gendut padahal dah diet ngoyo. Di
sisi lain ada yang merasa terlalu kurus padahal dah makan banyak. Ada yang
galau karena merasa ga cantik. Ada yang galau karena merasa kurang tinggi. Ada
yang galau karena merasa ketinggian. Ada yang merasa galau karena masalah warna
kulit. Ada yang galau karena rambutnya terlalu kriting. Ada yg galau karena
rambutnya saking lurus jadi keliatan
tipis.
Ada pula beberapa orang tingkat
sensitivitas galaunya terkait penyakit yang dideritanya. Ada yang sebelumnya
sehat ga pernah sakit, mengeluh karena tiba-tiba diuji dengan sakit berat dan
butuh pengobatan mahal. Ada yang galau
karena sakit kronis yang dideritanya, jadi malas dan bosan karena dah terlalu lama
berikhtiar untuk berobat. Ada pula yang galau setelah divonis sakit ga bisa
sembuh dan diprediksi hidupnya tinggal beberapa bulan lagi. Ada pula yang galau
karena terlahir dengan fisik tak sempurna yg membuat orang lain
mendiskriminasinya.
Orang-orang lain sensitivitas galaunya
terkait dengan kesalahan-kesalahan berulang yang sering mereka lakukan. Ada yang
galau karena berkali-kali mendapat kegagalan dalam setiap usaha hidupnya. Misal
ga naik kelas berkali-kali, selalu gagal ujian. Ada yang galau karena melakukan
perbuatan-perbuatan yang dia tau itu dosa tapi tetap saja diulang meski dah
berkali-kali bertobat dan berjanji pada diri sendiri ga melakukannya lagi
(kleptomania mau tobat misalnya. hehe). Ada yang galau karena ga bisa merubah
kebiasaan2 buruknya (meskipun itu ga seekstrim dosa tadi), berkali-kali jatuh
lagi dalam kebiasaan buruknya.
Yang lain sensitivitas galaunya
terkait dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Mereka berjiwa sosial karena yang
membuatnya galau ga hanya terkait always
about me, myself and I . Ada yang galau karena komunitas sosial
terdekatnya, yaitu keluarga inti jauh dari harmonis dalam standar normal. Misal
orangtua bercerai, saudara ada yang jadi preman. Ada yang galau karena lingkungan
kampus yang kacau, mahasiswanya malas-malas belajar. Ada yang galau karena
memasuki dunia kerja yang ga seidealis dunia kampus. Ada yang galau karena
kekayaan daerahnya habis dikorupsi bupati. Ada yang galau karena bangsa
Indonesia ga maju-maju meskipun potensinya besar. Ada yang galau krn
lingkungannya jauh dari ajaran agama tapi ga punya kekuatan apa-apa juga untuk
mengubahnya. Ada yang galau karena ketularan temen-temen di sekelilingnya yang
galau semua (hehe..).
Berikutnya terkait lingkungan
juga, tapi ini mengenai penerimaan lingkungan terhadapnya, bukan penerimaannya
terhadap lingkungan. Ada yang galau karena dianggap terlalu pandai oleh
lingkungannya. Ada yang galau karena dianggap terlalu bodoh. Ada yang galau karena
sadar secara obyektif lingkungan sekitar ga menyukai semua sifatnya. Ada yang
galau karena merasa sendirian, ga punya teman. Ada yang galau karena saking banyak teman yang curhat dia
sendiri bingung mau curhat ke siapa, dan ga punya waktu untuk diri sendiri.
Masih banyak yang sensitivitas
galaunya terkait hal lainnya. Beberapa mungkin ga masuk akal menurut kita yang
sensitivitas galaunya ga serupa. Misalnya galau karena ga bisa masak meskipun
wanita dan dia dah hampir menikah. Bagi kita yang bisa masak mungkin
berpendapat, “Ah, masak sih kecil. Lagian harusnya suami juga maklum kalo
masakannya ga enak. Kalo ga mau dimakan, suruh masak sendiri aja. Kalo ga mau
masak sendiri, malah enak tiap hari jajan ke luar”. Atau ekstrim banget dan
aseli saya ga tau gimana bisa ngertiin, kalo ada yg galau hanya karena anggota
boyband favoritnya ganti model rambut. Gubrak.com. So what gitu loh? Tapi ya itu tadi, ga semua orang bisa mengerti
sensitivitas galau kita. Itu sangat spesifik. Mungkin orang lain menganggapnya
sepele. Tapi yang merasa galau membela diri, kamu kan ga di posisi ku... mana tau rasanya. Yah, emang kalo kita
mau jujur pada diri sendiri, mungkin masalah kita sebenarnya ga berat, cara
kita menanggapi masalah itu yg membuatnya nampak berat. Apalagi jika masalah
kita benar-benar berat, kegalauan berlebihan akan membuat masalah itu terasa
makin berat.
Jadi ga boleh galau yaa? Boleh-boleh aja. Galau itu hak asasi. Ga
ada yg melarang. Setiap manusia pasti ingin dinamis, lebih baik dari kemarin.
Manusia yang hari ini sama dengan kemarin aja merugi. Galau adalah alarm bahwa
ada hal tidak beres dan kurang baik, sehingga seharusnya memacu kita untuk
berusaha. Ga pernah galau, hidupnya selalu dalam zona nyaman, malah ga seru. Yang
ga baik adalah galau yg kronis, terus menerus menggalaukan hal yang sama tanpa
tindakan nyata. Tidak berikhtiar untuk mengatasi kegalauan itu dan berubah jadi
lebih baik. Kalau ada kegalauan lagi, setidaknya itu terkait masalah lain yg
memacu kita untuk jadi lebih baik.
Jadi gimana supaya meminimalisir galau?
- Pertama jangan menyangkal kegalauan kita. Penyangkalan justru akan membuat kita semakin galau. Akui, dan hadapi! Lalu lanjutkan step berikutnya.
- Niatkan untuk memecahkan masalah, buat solusi-solusi, lalu ikhtiar! Keep move! Seperti sepeda yang jatuh jika ga dikayuh, manusia juga akan jatuh bila ga bergerak. Setelah ikhtiar, memohon pada Allah yang menentukan hasil terbaik bagi kita. Lalu tawakal, hasilnya terserah Allah. Jadi urutannya niat, ikhtiar, berdoa, tawakal. Kalo cuma niat terus tawakal, terus sim salabim, keinginanmu terwujud, itu bohong besar...
- Selalu siapkan plan B, C, dst. Jika rencana pertama gagal menurut target kita, segera pindah lagi ke rencana pengganti. Mungkin kadang kita perlu menurunkan target sehingga lebih realistis. Jangan menggalau terlalu lama lagi. Lakukan step serupa: niat, ikhtiar, doa, tawakal.
- Masih gagal? Terus bergerak... Jangan menyerah, Allah ga suka orang yang berputus asa.
- Sampai kapan? Sampai tercapai. Dan jika akhirnya kita hanya bisa mencapai yang menurut kita jauh dari target awal, jangan galau lagi. Mungkin emang itu yang terbaik bagi kita. Percaya, kelak ada hikmah yang justru membuat kita bersyukur karena Allah menakdirkan rencana itu untuk kita. Hikmah itu datangnya ga langsung esok pagi. Ada yang sampai butuh waktu belasan atau puluhan taun.
- Jangan lupa istikharah untuk memantapkan hati! Istikharah ga cuma dilakukan saat mau nikah ya... Tapi lakukan tiap menghadapi masalah dan perkara yang butuh keputusan untuk beberapa pilihan hidup yang membingungkan. Lakukan tanpa kecenderungan pada salah satu pilihan. Yakin pilihan Allah adalah yang terbaik.
- Mensyukuri keadaan kita. Salah satunya dengan melihat keadaan orang lain yang kurang beruntung dibanding kita. Mungkin di satu sisi itu kita merasa sangat galau, tapi di sisi lain kita sangat beruntung. Misal galau karena masalah cinta, kenapa tak kunjung bertemu jodoh yang cocok? Lihat sisi lain selain jodoh itu. Banyak nikmat lain. Masih sehat, masih punya keluarga dan teman-teman yang sayang kita, masih bisa bebas mengisi masa lajang dengan belajar berbagai hal bermanfaat, masih bisa bebas mengaktualisasikan diri. Jodoh, seperti rizki yang lain sudah diatur. Jangan takut kehabisan. Yang penting jangan berhenti meluruskan niat, ikhtiar dan berdoa. Tentunya dengan cara yang baik.
- Bersabar. Jika keadaan yang membuat kita galau ga bisa diikhtiarkan dan dirubah. Misalnya yang terkait masa lalu, terlahir dengan kekurangan fisik, penerimaan lingkungan terhadap kita, dll. Juga bila ikhtiar kita belum membuahkan hasil sementara kita dah merasa capek dan hampir meninggal kelelahan. Dekatkan diri pada Allah. Lupakan kegalauan itu dan lanjutkan hidup. Beralihlah pada sisi lain yang membuat kita bersyukur. Apakah ada? Pasti ada kok! Cari, cari kebahagiaan itu. Allah itu adil. Ga ada yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. Tapi takdir manusia yang berbeda-beda itu yang membuat kita saling berkaca, bersyukur keadaan kita lebih baik dibanding orang lain di sisi tertentu. Dan mencegah kita untuk sombong, karena kita punya kekurangan di samping kelebihan kita.
Emangnya kamu nulis kayak gini bener-bener dah bebas galau yaa? Ah, belum
juga sih.. Maksud utama justru mengingatkan diri sendiri bahwa masih banyak
yang perlu diusahakan dan disyukuri ketimbang galau ga jelas. Kalo ada yang
mendapat manfaat setelah membaca tulisan ga penting ini ya Alhamdulillah, dapat
temen sesama galau... Eh, maksudnya turut membantu orang lain. Asal jangan malah semakin galau aja setelah baca ini. Hehe.. ;p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar