Senin, 30 Januari 2012

UKDI? Ready?

UKDI adalah ujian kompetensi dokter indonesia. Huah... tinggal belasan hari lagi, kalo ga salah itung, tinggal 19 hari lagi!!!! Saya benar-benar ambivalensi mengenai UKDI. Di satu sisi ingin segera berlalu, saat yang sama, di sisi lain masih merasa belum siaaap.... Ya Allah, mudahkanlah.... Takut ni... Masalahnya tesnya juga pake CBT alias Computer Based Test. Saya emang agak gaptek ni. Kemarin waktu Try Out sih bisa lancar pakenya. Tapi tetep takut kalo2 ntar ada masalah teknis yang mengganggu... Aduh... mendingan pake cara bulet2in LJK pake pensil 2B deh... Ah, semoga dijauhkan dari masalah2 teknis lah... Aduh ini postingan apaan ya, ga mutu banget... Biar deh... Habis cemas abis... Semoga diberi yang terbaik. Dan happy ending. Amin... ^_^

Kamis, 26 Januari 2012

Resensi Buku: Jumpalitan Mencari Sang Pangeran


Penulis            : Shelina Zahra Janmohamed
Penerbit          : Mizan
Judul Asli        : Love in a Headscarf

 Buku ini merupakan memoar pencarian calon suami dari Shelina, seorang muslimah Inggris keturunan Tanzania. Statusnya sebagai muslimah berakidah kuat dipadu darah Asia yang menjunjung budaya timur serta menjadi warga negara Inggris yang modern dan tentu saja negeri minoritas muslim membuat kisah pencarian jodohnya unik dan menarik. Di dalam buku ini dipaparkan bagaimana Shelina mulai menjalani perjodohan-perjodohan. Ternyata kaum muslim keturunan Asia yang tinggal di negeri minoritas muslim masih menjunjung tinggi perjodohan. Sangat berbeda dengan keadaan Indonesia yang juga negara Asia dan mayoritas muslim, namun muda-mudinya justru kebanyakan mengadopsi budaya Barat dalam pencarian jodoh – pacaran dan kencan. Padahal dalam Islam tidak ada istilah premarital relationship. Alhamdulillah banyak juga muda-mudi yang kenal ngaji sudah meninggalkan metode pacaran itu, dan memilih jalur ta’aruf melalui ustadz, kenalan atau keluarga.
Kembali ke cerita buku tadi. Menurut buku itu, perjodohan tradisional dalam budaya Shelina selalu diperantarai oleh comblang, yaitu Para Bibi, yang terdiri dari wanita-wanita tua yang sudah lama menikah, punya banyak anak cucu dan perawan-perawan tua yang mengabdikan dirinya untuk membantu gadis-gadis muda mencari jodoh. Tugas Para Bibi adalah mengumpulkan kandidat-kandidat, pria dan wanita yang sudah siap menikah kemudian mengatur pertemuan keluarga dengan orangtua pria dan wanita itu. Dalam Aturan Para Bibi Gemuk no.1 disebutkan Sebuah tata cara sosial yang memalukan bagi satu pihak jika menelepon pihak lain dan mengatakan, “Hei, bagaimana kalau anak-anak kita jodohkan?”.  Aturan no.2-10 merinci tentang aturan main perjodohan tradisional, yang membuat saya cekikikan membacanya karena ternyata pola pikir mereka mirip dengan pola pikir orang Indonesia tradisional, terlepas itu perjodohan atau mencari sendiri. Seperti gadis yang harus lebih muda dibanding lelaki, si gadis harus lebih pendek – bahkan saat memakai sepatu berhak tinggi, pendidikan harus lebih rendah, harus berkulit lebih terang, gadis harus telaten, religius, pihak wanita tak boleh maju duluan dan lain-lain.
Dalam buku ini dibahas tentang impian masa kecil Shelina menemukan sang pangeran tampannya dan jatuh cinta pada pandangan pertama (seperti beberapa muslimah Indonesia yang terbuai dongeng Cinderella waktu kecil) yang kontradiksi dengan kata-kata imam masjid “Cinta hadir setelah pernikahan”. Dan karena perjodohan dalam Islam bukan kawin paksa, namun kita boleh menolak jika calon tak sesuai dengan kriteria, maka Shelina mematuhi aturan tradisi itu. Shelina membuat daftar kriteria calon suaminya dan mengikuti proses perjodohan demi perjodohan, yang belum berhasil. Sang ayah dengan bijak menasehati bahwa jika ada 6 kriteria, 4 terpenuhi pun sudah sangat baik. Namun ada saja hal-hal mengganjal yang jadi penyebab tidak berhasil. Ada yang tidak punya visa, tidak bekerja, ada pula yang menolak karena Shelina terlalu pendek, ada yang menolak karena Shelina berjilbab.
Dalam saat-saat harapan ditemukan Mr.Right itu semakin suram, Shelina menggalau bersama Sara dan Noreen, temannya sesama keturunan Asia yang juga masih lajang. Mereka menyebutnya sebagai enam tahap mengasihani diri sendiri:
1.       Wanita (Muslim) Itu Mengagumkan
2.       Dimana Pria-Pria Yang Baik Itu?
3.       Mungkin Tak Ada Lagi Pria Baik-Baik Yang Tersisa
4.       Mungkin Kita Jenis Wanita Yang Salah
5.       Ya Tuhan, Kami Tak Akan Pernah Menikah
6.       Pria Sempurna Itu Ada di Luar Sana Hanya Menunggu Kita
Shelina merinci dan memaparkan kegalauan mereka di tiap tahap itu. Saya suka bab ini karena menurut saya pada saat-saat tertentu terlintas hal serupa di pikiran saya. Ironis sekali.
      Shelina juga mencoba beberapa alternatif lain saking putus asanya dengan metode perjodohan tradisional yang menurut Para Bibi sudah teruji itu. Pertama dia nekat mencari di kontak jodoh via internet. Dari dunia maya sepertinya sudah cocok, namun setelah kopdar, ternyata banyak ketidakcocokan ditemukan. Lalu dia dan Noreen mengikuti sebuah acara kencan kilat yang harganya murah. Mereka membuat kesepakatan, jika acaranya terlalu mengerikan, maka mereka akan kabur bersama-sama. Ternyata diantara pria yang ikut, tidak ada yang sesuai. Lalu Shelina mengikuti acara kencan kilat lain yang lebih mahal, dengan harapan para prianya lebih berkualitas. Namun ternyata, peserta pria lebih sedikit dari yang dijanjikan, dan ada yang keceplosan bahwa mereka sengaja dibayar untuk hadir. Maka dia kapok juga dan sadar bahwa pria yang dicarinya tak akan ditemukan di tempat-tempat seperti itu.
        Lalu bagaimana nasib Shelina? Akankah dia menemukan pangerannya setelah jumpalitan kesana-kemari? Kalo endingnya ditulis disini ga seru dong. Silakan baca sendiri.  
Saya suka buku ini. Menurut saya ini buku yang layak dibaca temen-temen muslimah yang sedang berikhtiar atau setidaknya bercita-cita mencari jodoh secara Islami. Hitung-hitung hiburan menertawai diri sendiri, karena beberapa bagian menohok secara pribadi. Sekaligus mengambil hikmah dari kisah saudari kita sesama muslimah di negeri lain.
Menurut saya, setelah membaca buku ini dan pengamatan saya terhadap fenomena sekitar, bisa disimpulkan beberapa hal dalam pencarian sang pangeran:
  •  Kita harus bangga menyandang status sebagai muslimah yang berjilbab dan meninggalkan metode pacaran.
  • Kita harus berikhtiar dalam mencari jodoh, meski jatuh bangun dan jangan lupa banyak berdoa.
  • Jodoh itu misteri. Kadang datang dari arah tak terduga. Kita tak akan pernah tau sampai benar2 menemukannya. Maka, jangan langsung menolak tiap ada kesempatan, siapa tau memang itu jalannya. Kata pak ustadz, minimal diistikharahkan dulu. Asal tetap dalam koridor syariat yang benar.
  • Cinta hadir setelah pernikahan. Cinta dibangun dalam pernikahan. Namun bukan berarti ga boleh mencintai sebelum menikah. Fathimah dan Ali saja sudah saling suka sebelum menikah. Hanya, jangan sembarang mengumbar kata cinta jika belum terucap akad. Karena belum tentu kan, dia yang akan benar-benar jadi pasangan kita? Pendam dulu. Sehingga gak ada fitnah jika ternyata bukan jodohnya. Kalo memang ternyata itu jodoh kita, kan romantis tu kalo bilang, “Mas, dulu sebelum menikah aku dah mencintai mas loh... Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan mas”. Yang dijawab oleh suami, “Oh, ya dik? Wah sama, aku juga. Aku juga dah cinta kamu sebelum kita menikah. Wah, kita mirip Ali dan Fathimah ya”. Terlepas si suami benar-benar jujur mengatakannya atau hanya ingin membahagiakan istri (karena suami baru bisa mencintai istri setelah menikah cukup lama), toh itu tetap indah. Lebih indah daripada sudah mengobral kata cinta dan rindu, karena dipikir kalo khitbah diterima tu dah 100% jadi nikah, eh.. ternyata ga jadi karena memang bukan jodohnya. Kasihan suami kita nantinya.
  • Kadang memang terlintas mencoba hal baru jika metode teruji – lewat Para Bibi dalam buku ini, atau minta dicarikan ustadz/kerabat seperti kebiasaan akhwat di Indonesia – nampak tidak efektif menurut kita. Hanya saja, kita benar-benar harus tau risikonya. Hati-hati, karena kita wanita dan lagi-lagi syariat come first. Jika sudah tidak cocok atau ada yang mengganjal, tinggalkan saja.
  •  Menunggu secara pasif? Jika anda akhwat keren sekaliber Anna Althafunnisa seperti di novel KCB, mungkin saja karena sudah banyak ikhwan antri mengkhitbah. Tapi jika anda tergolong akhwat ‘biasa-biasa saja’, ga ada salahnya minta dicarikan ikhwan yang sholeh melalui ustadz atau kerabat untuk diproses ta’aruf. Untuk mengakselerasi proses penantian, karena wanita nilai tawarnya semakin rendah seiring bertambah usia. Memasukkan biodata ke B**** juga ga ada salahnya. Kita ga akan pernah tau darimana sang pangeran datang, sampai dia datang dan mengucap akad. Yang penting kita tetap ikhtiar (dengan benar) dan berdoa. Allah mencatat tiap usaha kita.
  • Nembak duluan? Kalo ikhwan sih ikhtiarnya bisa lebih luas karena tak dibatasi norma budaya. Ikhwan boleh mengkhitbah akhwat yang disukainya. Apa akhwat ga boleh? Menurut agama boleh sih. Khadijah aja yang melamar Rasulullah dulu. Tapi norma budaya Indonesia, khususnya lagi di Jawa masih menganggap itu tabu. Jika memang benar-benar naksir seorang ikhwan karena agama dan kepribadiannya yang cocok dengan kriteria anda, kalo anda berani, boleh aja anda maju duluan. Ditolak? Ga papa, daripada ga pernah dicoba dan penasaran seumur hidup? Hehe, tapi saya pribadi belum seberani itu sih. Saya masih terikat dengan budaya juga. Jika sukanya bener-bener setengah mati dan belum lega kalo belum tau diterima atau ditolak (hehe), anda bisa juga mencoba melalui perantara (comblang) dan membuat trik seolah-olah tawaran datang dari pihak laki-laki (seperti dalam Aturan Para Bibi Gemuk no.3). Supaya ga malu jika ternyata si cowok ga tertarik sama anda. Yah, kembali lagi ke masing-masing pribadi sih.
  • Jangan lupakan istikharah dalam segala proses ikhtiar kita. Ingat lagi, pilihan terbaik adalah pilihan Allah. Dan kita ga bisa memaksakan keinginan kita dengan berdoa, “Ya Allah jika dia jodohku dekatkanlah, jika bukan maka jodohkanlah, bila dia jodoh orang lain maka ceraikanlah, bila dia ga suka sama aku, jangan sampai dia dapat jodoh hingga dia kembali mau denganku”. Itu namanya egois. Hehe. Siapa yang hamba, siapa yang Tuhan? Doa kok maksa... Berdoalah diberi yang terbaik menurut Allah. “Bila memang dia jodohku maka dekatkanlah, bila bukan maka jauhkanlah dengan baik-baik. Cintakanlah aku dengan seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu. Berilah aku suami yang bisa memimpin aku dan anak-anakku meraih surga-Mu. Amin...”
  • Jika segala ikhtiar dan doa dah dilakukan... Barulah kita tawakal, sabar. Selama menanti sang pangeran datang dengan kuda putihnya, upgrade diri. Kurangi kebiasaan-kebiasaan buruk, percantik pribadi, banyak belajar tentang fikih pernikahan, berkomunikasi lebih baik, berinteraksi dengan anak-anak untuk menumbuhkan naluri keibuan, belajar memasak dan skills standar lainnya sebagai seorang istri,belajar mendisiplinkan diri mengelola keuangan,dan lain-lain. Banyak yang harus disiapkan,girls... Realitanya, pernikahan bukan hanya penuh hal-hal romantis seperti layaknya pernikahan putri dongeng yang selalu diikuti dengan and they lived happily ever after. Pernikahan hanya awal dari cerita baru yang dimulai. Ada indahnya memang, tapi katanya masalahnya juga banyak (kata banyak orang yang dah menikah loh... Saya sih, belum tau...). Menyempurnakan separuh agama, separuhnya lagi, kita sempurnakan bersama pasangan kita. Co cwiiittt...
Yah,, akhirnya sampai juga di penghujung acara. Hehe. Maaf niatnya resensi buku, eh malah jadi ngasih tips-tips berikhtiar mencari sang pangeran. Kayaknya terbawa suasana juga. Hehe... Mari girls, kita ikhtiar dengan benar... Jika ga segera dimulai, kapan lagi? Ingat, wanita punya masa jaya, sebut saja golden period. Seperti kata Salim A Fillah, waktu masih terlalu muda & masih minder (belum masuk golden period) bilang “siapa saya”? Pas lagi jaya-jayanya, usia ideal buat nikah, merasa kueren buanget-nget-nget (dalam golden period) bilang “siapa kamu”? Trus pas pesona mulai pudar (dah melewati golden period) bilang “siapa aja lah...” Bukan bermaksud sensi ya,, ngingetin aja kalo masih dalam golden period supaya tetap rendah hati dan ga meremehkan tiap kesempatan & lamaran yang datang. Kalo dah lewat golden period? Jangan putus asa, jangan sampe niat menikah itu hilang. Karena menikah adalah sunah Nabi dan kehidupan merahib itu ga ada dalam Islam. Kemarin salut waktu dengar cerita ada wanita usia 60an yang akhirnya tetep menikah supaya ga dicoret dari kaum Nabi Muhammad. Padahal kalo dipikir, usia 60an dah menopause, ga bisa dapat keturunan lagi juga. Usia 40 pun jadi masih terhitung muda kan? Apalagi kalo masih kepala 2. Yuk semangat kawanz.... :D





Kamis, 19 Januari 2012

Kentang Goreng Crispy


Mau bagi resep nih... Ini kentang goreng favorit saya... Simpel sih, resep ngawur saya yang dah sering saya coba dan enak... Dah teruji hasilnya tetap crispy meskipun dah dingin. Biasanya sih tepungnya tepung terigu dicampur tepung beras, tapi tadi dah motong-motong kentang dan nyiapin bumbu, kok terigu dan tepung berasnya habis. Males beli, ternyata masih ada sekantung tepung gaplek yang bawain budhe saya. Tepung gaplek itu maksudnya dibawain budhe untuk kami buat bikin tiwul. Ya udah dimanfaatkan aja deh. Pengganti tepung berasnya saya pake tapioka yang kebetulan juga ada. Haha,, dudul... Padahal gaplek sama tapioka kan sama-sama dari singkong ya... apa ngaruhnya... hehe... Ya udahlah gapapa... Coba-coba... Kalo ternyata tetep enak kan bisa buat alternatif kalo besok kepepet lagi... Hehe...
before masuk wajan

Bahan:
0,5 kg kentang
3 siung bawang putih
0,5 gelas air
1,5 gelas tepung terigu (karena darurat, saya ganti tepung gaplek)
0,5 gelas tepung beras (saya ganti dengan tapioka)
Garam secukupnya
Penyedap rasa secukupnya
Merica bubuk secukupnya
Minyak goreng secukupnya

Cara memasak:
  • Siapkan bumbu untuk merendam kentang. Haluskan bawang putih dan garam, beri merica bubuk dan penyedap rasa, tambahkan air. Sisihkan.
  • Kupas kentang, cuci, potong korek api. Rendam dalam bumbu kurang lebih 5 menit.
  • Campur tepung gaplek dan tapioka, beri garam, merica bubuk dan penyedap rasa (biar tepungnya juga berasa...)
  •  Tiriskan kentang, masukkan ke campuran tepung, ayak-ayak supaya seluruh permukaan kentang tertutup tepung dan tidak saling menempel
  • goreng goreng...
  • Panaskan minyak. Goreng kentang, aduk-aduk supaya tidak gosong. Bila sudah berwarna kuning kecoklatan dan berbunyi klontang-klontang bila terkena wajan, tandanya kentang sudah matang. Angkat dan tiriskan. Sajikan dengan saos.
Yummy.. :9
Karena tepungnya diganti, ternyata hasilnya jadi tidak tahan crispynya bila sudah dingin... Biasanya kalo pake terigu dan tepung beras tahan crispy (Dengan syarat gorengnya harus sampe bunyi klontang-klontang itu tadi. Hehe). Tapi warnanya lebih cantik dan rasanya lebih enak, kayak makan kentang sekaligus singkong (Ya iyalah, kan tepungnya dari singkong. Hehe...). Lain kali biar tetep crispy eksperimen pake tepung gaplek dicampur tepung beras kali ya..

Rabu, 18 Januari 2012

Galau To The Max

Berdasarkan suatu sumber, kata-kata terpopuler tahun 2011 silam adalah... Yak benar sekali... GALAU!!! Dimana-mana, mayoritas anak-anak muda mengeluh sedang galau. Dalam percakapan sehari-hari, curhatan di radio, dunia maya, facebook, twitter, media cetak... Ramai sekali mereka menyebut kata GALAU ini... Orang-orang dewasa pun ga ketinggalan memakai kata ngetrend ini. Lalu musisi tanah air ikut-ikut juga. Lagu-lagu galau baik tersirat (inti lagunya tentang kegalauan tanpa ada kata ‘galau’ dalam syairnya) maupun tersurat (jelas-jelas menyebut kata ‘galau’ dalam syairnya) lebih banyak dan lebih disukai dibanding lagu-lagu bahagia. Seorang motivator populer yang suka jalan-jalan di atas emas (hehe..) pun sering mengawali kata-kata motivasinya dengan “Engkau yang sedang galau hatinya...” dan kalimat-kalimat senada.

Lalu sebenarnya apa sih galau itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘galau’ didefinisikan sebagai sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran). Well, menurut saya pribadi galau lebih ke perasaan yang ga karuan dibanding pikiran yang ga karuan. Karena, pikiran sering terdengar lebih logis, dan perasaan sering ga logis. Tapi perasaan ga karuan pun jadi menyebabkan pikiran ga karuan juga. Ya udah lah ora popo (Hehe... Njuk ngopo dibahas nek akhirnya ora popo?? Orceth tenan).

Apa yang membuat seseorang jadi galau? Banyak, banyak hal... Dan itu sangat spesifik bagi tiap orang. Ga ada yang sama plek. Tapi yang serupa banyak juga. Serupa tapi tak sama lah (Wah soyo orceth ki...).  

Kelompok mayoritas (biasanya yang mengeluh tentang ini anak-anak muda), tingkat sensitivitas kegalauannya terkait dengan pasangan hidup. Ini juga macam-macam.

Yang masih single dalam artian belum berkeluarga (saya menggunakan istilah couple bila dah menikah, ya...) masih dibagi lagi jadi beberapa macam. Yang kelompok single pro pacaran tapi belum punya pacar merasa galau karena ga punya pacar. Hatinya menderita bila melihat teman-temannya gandengan kesana kemari atau ada yang bilang ga laku (Sadis juga. Berat jadi anak muda jaman sekarang).

Yang kelompok single pro pacaran tapi dah punya pacar masih aja galau. Itupun macam-macam. Ada yang galau karena masih bertanya-tanya ‘benarkah dia jodoh yg tepat untukku’? Ada yang dah ngebet nikah tapi keadaan belum memungkinkan (orangtua belum mengizinkan, belum lulus). Ada yang galau karena cemburu buta. Ada juga yang galau karena pacarnya ga SMS atau nelpon (ce: Apa sih susahnya ngomong? Telpon ga pernah... SMS ga pernah... co: Aku ga punya pulsaaa... ;p).

Sedangkan kelompok single anti pacaran ternyata bisa juga galau. Jangan kira makhluk-makhluk yang kerap disebut ikhwan dan akhwat ini bebas galau terkait pasangan hidup. Beda-beda juga. 

Dibanding akhwat, ikhwan galaunya lebih nampak. Ada ikhwan yang galau karena dah bener-bener siap nikah, tapi dah mengkhitbah 27 akhwat ditolak terus (kasian banget sih. Hiks). Ada ikhwan yang galau, dah siap nikah, tapi belum berani maju mengkhitbah. Ada pula yang galau karena menyukai seorang gadis yang berbeda prinsip dan ustadz ngajinya lebih merekomendasikan akhwat-akhwat lain yang menurut sang ustadz ‘dah jadi, dah sholehah, ga perlu banyak mbimbing dari awal lagi’. Ada pula ikhwan yang lagi semangat-semangatnya belajar agama dah pingin nikah jadi galau karena ortunya belum mengizinkan, karena si ikhwan masih kelas 1 SMA (ikhwan brondong ngebet nikah. Hehe). 

Kalau akhwat, biasanya galaunya lebih tersembunyi, kecuali akhwat-akhwat tertentu (siapa yaa... lirik kanan, lirik kiri... hehe). Ada akhwat yang galau karena dah siap nikah tapi belum ada ikhwan yang mengkhitbah (sabar yaa.. hiks). Ada akhwat mirip keadaannya, dah ada yang mengkhitbah, tapi ga ada yg masuk kriterianya sama sekali. Well, wanita berhak memutuskan yang terbaik kan. Tapi akhwat itu galau juga, apakah kriterianya terlalu melangit, apakah kelak ada ikhwan yang datang lagi? Ada pula akhwat yang dah dikhitbah banyak ikhwan tapi harus berkali-kali menolak karena ortunya belum mengizinkan. Ada akhwat yang terjebak rasa cinta irasional, meski akal dan prinsip mengatakan tidak, tapi ego dan nafsu mengatakan mau, pertentangan dalam dirinya itu membuat galau. Ada pula akhwat yang galau hanya untuk memutuskan apakah mau berikhtiar minta dicarikan ustadzah/kerabatnya atau pasif menunggu saja sang pangeran datang dengan kuda putih. 

Apakah setelah jadi couple kegalauan hilang? Yang sudah couple bisa juga galau. Ada yang kegalauannya karena cemburu pada pasangan, apakah itu karena ada bau-bau affair, karena pasangan lebih suka mementingkan orangtua dan saudaranya, atau karena pasangan lebih suka mementingkan pekerjaan dan hobinya dibanding keluarga. Ada yang galau karena merasa pernikahan hambar dan ga ada chemistrynya lagi setelah bertaun-taun. Ada yang karena jatuh cinta lagi namun merasa galau karena ingat statusnya dan merasa mengkhianati pasangan. Ada juga yang karena pasangan melakukan KDRT. Yah, masalah cinta memang peringkat pertama yang menimbulkan kegalauan.

Setelah masalah cinta, ada sekelompok orang yang tingkat sensitif kegalauannya jika terkait dengan pekerjaan. Itu pun macam-macam juga. Ada yang merasa pekerjaan yang dijalaninya bukan ‘soul’nya sehingga ga menikmati, meski ga melelahkan dan penghasilannya besar. Ada yang merasa pekerjaannya melelahkan dan penghasilannya ga sebanding. Ada yang merasa kerja dah enak, menikmati, penghasilan lancar, tapi merasa galau setelah mendapat info bahwa pekerjaannya ga sesuai dengan wetonnya (Kamu lahir Jumat Wage. Seharusnya kamu menghindari pekerjaan yang berkaitan dengan air. Weleh weleh... ;p). Ada pula yang galau kenapa ga dapat kerja juga meski pendidikannya dah tinggi dan nilai selama kuliah juga excellent.

Selain pasangan hidup dan pekerjaan, ada juga yang tingkat sensitivitas galaunya berkaitan dengan body image. Ini biasanya dialami oleh para remaja putri yang belum matang, yang dah berpikiran dewasa biasanya ga mikir lagi masalah fisiknya, yang penting sehat. Ada yang galau karena merasa terlalu gendut padahal dah diet ngoyo. Di sisi lain ada yang merasa terlalu kurus padahal dah makan banyak. Ada yang galau karena merasa ga cantik. Ada yang galau karena merasa kurang tinggi. Ada yang galau karena merasa ketinggian. Ada yang merasa galau karena masalah warna kulit. Ada yang galau karena rambutnya terlalu kriting. Ada yg galau karena rambutnya saking lurus jadi keliatan tipis.

Ada pula beberapa orang tingkat sensitivitas galaunya terkait penyakit yang dideritanya. Ada yang sebelumnya sehat ga pernah sakit, mengeluh karena tiba-tiba diuji dengan sakit berat dan butuh pengobatan mahal. Ada yang  galau karena sakit kronis yang dideritanya, jadi malas dan bosan karena dah terlalu lama berikhtiar untuk berobat. Ada pula yang galau setelah divonis sakit ga bisa sembuh dan diprediksi hidupnya tinggal beberapa bulan lagi. Ada pula yang galau karena terlahir dengan fisik tak sempurna yg membuat orang lain mendiskriminasinya.

Orang-orang lain sensitivitas galaunya terkait dengan kesalahan-kesalahan berulang yang sering mereka lakukan. Ada yang galau karena berkali-kali mendapat kegagalan dalam setiap usaha hidupnya. Misal ga naik kelas berkali-kali, selalu gagal ujian. Ada yang galau karena melakukan perbuatan-perbuatan yang dia tau itu dosa tapi tetap saja diulang meski dah berkali-kali bertobat dan berjanji pada diri sendiri ga melakukannya lagi (kleptomania mau tobat misalnya. hehe). Ada yang galau karena ga bisa merubah kebiasaan2 buruknya (meskipun itu ga seekstrim dosa tadi), berkali-kali jatuh lagi dalam kebiasaan buruknya.

Yang lain sensitivitas galaunya terkait dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Mereka berjiwa sosial karena yang membuatnya galau ga hanya terkait always about me, myself and I . Ada yang galau karena komunitas sosial terdekatnya, yaitu keluarga inti jauh dari harmonis dalam standar normal. Misal orangtua bercerai, saudara ada yang jadi preman. Ada yang galau karena lingkungan kampus yang kacau, mahasiswanya malas-malas belajar. Ada yang galau karena memasuki dunia kerja yang ga seidealis dunia kampus. Ada yang galau karena kekayaan daerahnya habis dikorupsi bupati. Ada yang galau karena bangsa Indonesia ga maju-maju meskipun potensinya besar. Ada yang galau krn lingkungannya jauh dari ajaran agama tapi ga punya kekuatan apa-apa juga untuk mengubahnya. Ada yang galau karena ketularan temen-temen di sekelilingnya yang galau semua (hehe..).

Berikutnya terkait lingkungan juga, tapi ini mengenai penerimaan lingkungan terhadapnya, bukan penerimaannya terhadap lingkungan. Ada yang galau karena dianggap terlalu pandai oleh lingkungannya. Ada yang galau karena dianggap terlalu bodoh. Ada yang galau karena sadar secara obyektif lingkungan sekitar ga menyukai semua sifatnya. Ada yang galau karena merasa sendirian, ga punya teman. Ada yang galau karena saking banyak teman yang curhat dia sendiri bingung mau curhat ke siapa, dan ga punya waktu untuk diri sendiri.

Masih banyak yang sensitivitas galaunya terkait hal lainnya. Beberapa mungkin ga masuk akal menurut kita yang sensitivitas galaunya ga serupa. Misalnya galau karena ga bisa masak meskipun wanita dan dia dah hampir menikah. Bagi kita yang bisa masak mungkin berpendapat, “Ah, masak sih kecil. Lagian harusnya suami juga maklum kalo masakannya ga enak. Kalo ga mau dimakan, suruh masak sendiri aja. Kalo ga mau masak sendiri, malah enak tiap hari jajan ke luar”. Atau ekstrim banget dan aseli saya ga tau gimana bisa ngertiin, kalo ada yg galau hanya karena anggota boyband favoritnya ganti model rambut. Gubrak.com. So what gitu loh? Tapi ya itu tadi, ga semua orang bisa mengerti sensitivitas galau kita. Itu sangat spesifik. Mungkin orang lain menganggapnya sepele. Tapi yang merasa galau membela diri, kamu kan ga di posisi ku... mana tau rasanya. Yah, emang kalo kita mau jujur pada diri sendiri, mungkin masalah kita sebenarnya ga berat, cara kita menanggapi masalah itu yg membuatnya nampak berat. Apalagi jika masalah kita benar-benar berat, kegalauan berlebihan akan membuat masalah itu terasa makin berat.

Jadi ga boleh galau yaa? Boleh-boleh aja. Galau itu hak asasi. Ga ada yg melarang. Setiap manusia pasti ingin dinamis, lebih baik dari kemarin. Manusia yang hari ini sama dengan kemarin aja merugi. Galau adalah alarm bahwa ada hal tidak beres dan kurang baik, sehingga seharusnya memacu kita untuk berusaha. Ga pernah galau, hidupnya selalu dalam zona nyaman, malah ga seru. Yang ga baik adalah galau yg kronis, terus menerus menggalaukan hal yang sama tanpa tindakan nyata. Tidak berikhtiar untuk mengatasi kegalauan itu dan berubah jadi lebih baik. Kalau ada kegalauan lagi, setidaknya itu terkait masalah lain yg memacu kita untuk jadi lebih baik.

Jadi gimana supaya meminimalisir galau?
  •  Pertama jangan menyangkal kegalauan kita. Penyangkalan justru akan membuat kita semakin galau. Akui, dan hadapi! Lalu lanjutkan step berikutnya.
  •  Niatkan untuk memecahkan masalah, buat solusi-solusi, lalu ikhtiar! Keep move! Seperti sepeda yang jatuh jika ga dikayuh, manusia juga akan jatuh bila ga bergerak. Setelah ikhtiar, memohon pada Allah yang menentukan hasil terbaik bagi kita. Lalu tawakal, hasilnya terserah Allah. Jadi urutannya niat, ikhtiar, berdoa, tawakal. Kalo cuma niat terus tawakal, terus sim salabim, keinginanmu terwujud, itu bohong besar...
  •  Selalu siapkan plan B, C, dst. Jika rencana pertama gagal menurut target kita, segera pindah lagi ke rencana pengganti. Mungkin kadang kita perlu menurunkan target sehingga lebih realistis. Jangan menggalau terlalu lama lagi. Lakukan step serupa: niat, ikhtiar, doa, tawakal.
  •  Masih gagal? Terus bergerak... Jangan menyerah, Allah ga suka orang yang berputus asa.
  •  Sampai kapan? Sampai tercapai. Dan jika akhirnya kita hanya bisa mencapai yang menurut kita jauh dari target awal, jangan galau lagi. Mungkin emang itu yang terbaik bagi kita. Percaya, kelak ada hikmah yang justru membuat kita bersyukur karena Allah menakdirkan rencana itu untuk kita. Hikmah itu datangnya ga langsung esok pagi. Ada yang sampai butuh waktu belasan atau puluhan taun.
  •  Jangan lupa istikharah untuk memantapkan hati! Istikharah ga cuma dilakukan saat mau nikah ya... Tapi lakukan tiap menghadapi masalah dan perkara yang butuh keputusan untuk beberapa pilihan hidup yang membingungkan. Lakukan tanpa kecenderungan pada salah satu pilihan. Yakin pilihan Allah adalah yang terbaik.
  •  Mensyukuri keadaan kita. Salah satunya dengan melihat keadaan orang lain yang kurang beruntung dibanding kita. Mungkin di satu sisi itu kita merasa sangat galau, tapi di sisi lain kita sangat beruntung. Misal galau karena masalah cinta, kenapa tak kunjung bertemu jodoh yang cocok? Lihat sisi lain selain jodoh itu. Banyak nikmat lain. Masih sehat, masih punya keluarga dan teman-teman yang sayang kita, masih bisa bebas mengisi masa lajang dengan belajar berbagai hal bermanfaat, masih bisa bebas mengaktualisasikan diri. Jodoh, seperti rizki yang lain sudah diatur. Jangan takut kehabisan. Yang penting jangan berhenti meluruskan niat, ikhtiar dan berdoa. Tentunya dengan cara yang baik.
  •  Bersabar. Jika keadaan yang membuat kita galau ga bisa diikhtiarkan dan dirubah. Misalnya yang terkait masa lalu, terlahir dengan kekurangan fisik, penerimaan lingkungan terhadap kita, dll. Juga bila ikhtiar kita belum membuahkan hasil sementara kita dah merasa capek dan hampir meninggal kelelahan. Dekatkan diri pada Allah. Lupakan kegalauan itu dan lanjutkan hidup. Beralihlah pada sisi lain yang membuat kita bersyukur. Apakah ada? Pasti ada kok! Cari, cari kebahagiaan itu. Allah itu adil. Ga ada yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. Tapi takdir manusia yang berbeda-beda itu yang membuat kita saling berkaca, bersyukur keadaan kita lebih baik dibanding orang lain di sisi tertentu. Dan mencegah kita untuk sombong, karena kita punya kekurangan di samping kelebihan kita.
Emangnya kamu nulis kayak gini bener-bener dah bebas galau yaa? Ah, belum juga sih.. Maksud utama justru mengingatkan diri sendiri bahwa masih banyak yang perlu diusahakan dan disyukuri ketimbang galau ga jelas. Kalo ada yang mendapat manfaat setelah membaca tulisan ga penting ini ya Alhamdulillah, dapat temen sesama galau... Eh, maksudnya turut membantu orang lain. Asal jangan malah semakin galau aja setelah baca ini. Hehe.. ;p