Untuk apa aku menikah?
Aku bisa hidup mandiri. Aku punya
pekerjaan. Bisa menghidupi diriku sendiri.
Aku bisa melakukan “pekerjaan
lelaki” sendiri, memindahkan perabot, mengganti bohlam yang putus, mengecat
dinding...
Siapa sih yang butuh lelaki?
Makhluk kasar yang mau menang sendiri...
Cinta? Aku sudah mendapatkan
banyak cinta, lebih dari cukup, dari keluarga dan sahabatku.
Anak? Kalau mau aku bisa
mengadopsi satu atau lebih, banyak anak yatim yang butuh perhatian.
Pelindung? Cukuplah Allah
sebaik-baiknya pelindung. Kenapa harus bergantung pada sesama makhluk yang
lemah?
Sahabat? Sahabat lelaki tiap hari
obrolannya sepakbola. Lebih asyik sahabat wanita, obrolannya lebih nyambung,
bisa diajak belanja baju dan memasak bareng.
Seks? Ini memang kebutuhan. Tapi
tak seperti lelaki yang menganggap itu utama, wanita bisa hidup tanpa itu.
Menikah hanya mengekang
kebebasanku sebagai perempuan, membatasi cita-citaku. Memang istri yang
shalihah dan taat pada suaminya dijanjikan surga. Namun bukan perkara mudah
untuk taat pada makhluk bernama suami, apalagi bagi makhluk semi egois
sekaligus semi feminis sepertiku.
Yah, itu dulu... Argumen-argumen
tentang pernikahan yang kususun rinci untuk melindungi ego keperempuananku,
saat aku belum menemukan lelaki yang tepat.
Sejak aku berjumpa dengan
lelakiku, argumen-argumen itu runtuh. Lelaki yang memberi bukti, bukan janji saja.
Lelaki yang selalu mendukungku dalam kebaikan. Mengingatkanku untuk tidak
merisaukan hal-hal kecil. Lelakiku yang perhatian meski kadang dengan cara yang
tak kupahami. Aku sudah dibuat jatuh cinta olehnya.
Apakah karena lelakiku sempurna?
Tidak, dia tidak sempurna. Sama sepertiku yang juga tak sempurna. Dua makhluk
tak sempurna bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Bersama berusaha menggapai
ridho Nya.
Sekarang aku tahu untuk apa aku
menikah. Hal-hal diatas memang bisa diperoleh atau ditoleransi tanpa harus
menikah. Tapi, tanpa menikah, aku tak memiliki kesempatan untuk berusaha jadi
istri shalihah. Aku tak tahu betapa luar biasanya menjadi seorang istri. Tanpa
menikah, hidupku tak kan lengkap tanpa dia.
“Apabila seorang wanita
mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya,
dan dia taat kepada suaminya, niscaya dia akan masuk surga dari pintu surga
mana saja yang dia kehendaki” (HR. Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Hurairah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar