Menikah,, adalah cita-citaku sejak aku tahu tentang arti cinta... Hehehe... Alhamdulillah,, cita-citaku tersebut telah terwujud beberapa waktu lalu. Aku pun tak menyangka akan secepat ini. Eh, gak juga ding... Usiaku memang sudah saatnya untuk menikah. Namun dibandingkan teman-teman seangkatan kampus, aku termasuk kelompok yang lebih awal menikah. Maklum lah, kuliah di kedokteran kan sibuk, jadi mayoritas mahasiswa kedokteran memang memilih tidak menikah selama kuliah daripada keluarga tidak terurus.
Aku menikah saat menjalani tugas internship dokter. Konsekuensinya, hidup terpisah dengan suami pada 10 bulan pertama pernikahan karena suami bekerja di pulau yang terpisah. Tentu tetap ada komunikasi, dan rutin dikunjungi. Hubungan jarak jauh yang berat di ongkos. Namun semoga rizki kami selalu ditambah. Amiinn...
Aku menikah tanpa pacaran. Diawali dengan taaruf/perkenalan singkat. Namun tentu masih ada kejutan-kejutan setelah menikah. Sifat-sifatnya yang belum semuanya muncul saat taaruf. Kebiasaan-kebiasaannya. Disinilah asyiknya. Saat tahu hal-hal baik tentangnya yang sebelumnya belum kuketahui, kurasakan semakin mengagumi dan jatuh cinta berkali-kali padanya. Hal-hal kecil namun luar biasa yang sebelumnya sama sekali tak kuduga, rasanya aku jadi begitu beruntung bisa menikah dengannya. Saat tahu kekurangannya? Rasanya memang agak sebel, atau kadang aku ngambek. Hehe, konon ngambek itu senjata perempuan. Namun, sesebel-sebelnya dan semarah-marahnya, itu tak akan bertahan lama. Pasti cepat baikan lagi. Yah, kemudian teringat bahwa aku juga punya banyak kekurangan. Dan sadar, orang yang kunikahi juga manusia biasa. Jika bisa senang dengan kelebihan-kelebihannya, seharusnya juga bisa menerima kekurangannya.
Hidup terpisah memang bukan hal yang diinginkan pengantin baru. Pinginnya ya selalu bersama, kemana-mana berdua, dunia seakan milik berdua, yang lain ngontrak. Hehe. Namun ini harus dijalani, demi masa depan bersama.
Sebenarnya aku juga pernah bilang sama suami, jika suami menginginkan aku tidak melanjutkan magang, aku pun akan taat. Namun suamiku tidak berkeinginan seperti itu. Dia laki-laki yang baik, mendukung istrinya selama dalam kebaikan. Sempat aku menyatakan, setelah menikah kok pinginnya cuma jadi dokter puskesmas aja ya, gak usah sekolah lagi, biar ada waktu buat keluarga. Namun suami bilang harus seperti rencana awal, biar ilmunya berkembang dan lebih bermanfaat. Ya, memang awalnya aku berencana melanjutkan spesialis meski tidak langsung setelah magang. Berkeluarga dulu, punya anak dulu, cari pengalaman klinis dulu. Karena menurut cerita beberapa residen yang kutemui saat koas, perempuan suka 'lupa' untuk berkeluarga jika sudah masuk residensi. Dan bukankah pekerjaan utama perempuan adalah melayani suami dan mendidik anak-anak? Aku tak ingin itu dinomorduakan hanya karena aku berprofesi sebagai dokter. Wanita berprofesi semulia apapun, secerdas apapun dia, setinggi apapun kedudukannya di kantor, jika tidak menjadi istri dan ibu yang baik, semuanya sia-sia.
Aku bukannya tidak suka dengan feminisme dan emansipasi. Dalam batas yang wajar, aku mendukungnya. Namun yang penting, yang utama jangan sampai lupa kodrat. Mungkin aku seperti ini karena role model, ibuku adalah istri dan ibu yang luar biasa. Beliau taat pada bapak dan menyayangi anak-anaknya. Pendidikan tinggi tak membuat ibuku enggan menjadi 'hanya' ibu rumah tangga. Ibu juga menanamkan pada anak gadis satu-satunya, bahwa setelah menikah, wanita harus ikut suami dan taat padanya selama masih dalam kebaikan. Karena surga seorang istri tergantung pada ketaatan pada suaminya. Ada hadistnya juga, yang intinya seorang muslimah jika shalat fardhu, berpuasa di bulan ramadhan, menjaga kehormatan dirinya, dan taat pada suami, maka baginya dibebaskan masuk melalui pintu surga manapun. Simpel kan... Tak disebutkan bahwa wanita harus puasa sunnah terus, shalat berjamaah terus, shalat malam terus, atau berjihad di jalan Allah. Kuncinya adalah ketaatan. Tentu ketaatan yang berbingkai syariat. Jika suami melanggar perintah Allah, tentu kita tak boleh taat.
Beberapa teman ada yang berkomentar kok mau dibawa ke pulau tempat suamiku menetap. Seakan itu adalah hal yang langka di kalangan makhluk bernama wanita yang sempat mengenyam bangku kuliah kedokteran. Padahal menurutku itu adalah hal yang wajar. Menurut norma agama dan budaya, istri harus ikut kemana suami pergi. Dan aku tak ingin merasa lebih superior dari suamiku. Aku ingin jadi istri yang baik. Lagipula bukankah di pulau kecil justru ilmuku akan lebih bermanfaat? Dan sekali lagi, yang terpenting adalah bersama siapa bukan dimana... Hehehe...
Udah ah, puasa-puasa ngomongin pernikahan dan suami bikin galau aja. Kangennya.. Menghitung hari ni, tanggal 16 aku mudik lebaran ke Madura... Ketemu suami... Asik-asik... Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar