Senin, 17 September 2012

Magang = Meningkatkan Skills Memasak?


Saya sedang menjalani kewajiban internship atau magang. Nah, tujuan dari magang ini dari sononya adalah meningkatkan skills sebagai dokter, melatih supaya kelak siap dilepas ke dunia kerja. Namun ternyata... Saya ditempatkan di rumah sakit yang bisa dibilang pasiennya tak banyak dan itu-itu saja (contoh: jaga UGD, pasien yang datang mayoritas diagnosanya faringitis. Hehe...). Bahkan jika dibandingkan saat saya di puskesmas sebelumnya (magang ini 4 bulan di puskesmas dan 8 bulan di rumah sakit), di rumah sakit ini jauh lebih nyantai kayak di pantai. Apalagi yang jaga di UGD berlima, shift jaganya seminggu hanya 3 kali jaga, masing-masing 12 jam. Otomatis, banyak waktu libur. Yah, sebenarnya menyenangkan jika sering liburan ada suami disini... Masalahnya suami saya terpisah dan berkunjung tak tiap hari, 1-3 bulan sekali lah. Mau jalan-jalan sama teman-teman, setelah menikah saya malas kalo liburan yang agak jauh tanpa suami. Kalau cuma dekat sih tak masalah. Jadi sering menghabiskan liburan di kontrakan saja.
Sebenarnya sejak di puskesmas pun sudah banyak waktu luang, karena meski masuk tiap hari jam kerja hanya sampai jam 12 siang. Jadilah saya mencari hiburan untuk mengisi waktu luang. Hiburan itu adalah, belajar memasak. Hehehe... Banyak alasannya. Kenapa? Disini beli makanan itu mahal jika dibanding kota tercinta saya, Jogjakarta. Harganya bisa 2-3 kali lipat. Dan ternyata, harga bahan mentahnya ga jauh beda dengan di Jogja. Ya emang lebih mahal, tapi jika beli bahan mentah dan dimasak sendiri, penghematannya cukup signifikan. Apalagi gaji atau bantuan hidup dasar (BHD) yang diberikan tidak banyak (1,2 juta per bulan), dan dirapel 3 bulan sekali. Dulu awal magang sebelum menikah, saya bertekad ingin mandiri. Setelah BHD sudah turun, tidak minta kiriman orang tua lagi. Secara, masak minta terus, mulai mandiri laah... Dah gede, malu... Setidaknya menghidupi diri sendiri, syukur-syukur jika berlebih malah ngasih ke orang tua. Maka dari itu harus terampil dalam mengatur uang. Selain alasan penghematan, saya kurang cocok dengan rasa masakan di sini. Terlalu pedas, namun bumbu lainnya kurang terasa. Sesekali tak apa sih biar tahu kuliner khas, tapi tiap harinya saya lebih suka memasak sendiri supaya bisa pas rasanya dengan selera saya. Selain itu.. Alasannya adalah belajar memasak. Secara sejak magang sudah ada rencana pernikahan, dan sekarang dah menikah dan punya suami. Harus terampil memasak dong... Meski sekarang masih tinggal terpisah, tapi kelak jika sudah berkumpul, target saya adalah bisa memasak makanan dengan lezat supaya suami makin sayaaang... Kan cinta itu dari perut turun ke hati. Hehehe...

Dan kini... Meski dah menikah dan mendapat nafkah dari suami sehingga sebenarnya gak perlu takut beli lauk tiap hari, tapi memasak sudah jadi rutinitas bagi saya. Rasanya kalo gak masak jadi gimana... Gitu. Kecuali jika habis jaga dan kecapekan, itu baru beli lauk. BHD sejak 3 bulan pertama pun masih utuh tak tersentuh di rekening tabungan, dan kini sudah turun BHD 3 bulan ke depan. Bulan pertama magang, sebelum BHD turun kan masih dikirim ortu. Meski ortu bilang kalau kurang tinggal menghubungi supaya dikirim lagi, tapi saya bertekad mencukup-cukupkan dari kiriman ortu itu. Gak enak minta dikirim terus. Sebulan magang, saya dah nikah. Setelah BHD turun, dah dikirim suami. Uang dari suami pun belum habis. Saking ngiritnya euy... 

Alhamdulillah, skills memasak saya pun bertambah. Jika dulu saya hanya suka mebuat kue atau makanan kecil. Kini saya belajar memasak lauk dan sayur sehari-hari. Jika dulu hanya bisa ceplok telur dan bikin sop. Kini saya bisa masak nasi uduk, semur, kering tempe, macam-macam tumis sayuran, sayur asem, sambel goreng, dan lain-lain. Hehehe... Jadinya, meski skills kedokteran saya tidak berkembang pesat, setidaknya skills memasak saya bertambah karena program magang ini. Jadinya nanti jika sudah berkumpul dengan suami, saya bisa memasak macam-macam masakan. Biar makin disayang.

Nah, sekarang mau bagi resep ni... Saya dah lama ngidam makan hati ayam. Akhirnya beberapa hari lalu saya beli hati ayam... Dan bikin semur hati ayam. Sayurnya sederhana saja, tumis sawi. Oya, sejak magang saya juga jadi suka makan sayur. Dulu saya gak terlalu suka sayur. Doyan sih, tapi gak harus tiap hari. Sekarang saya merasa makan sayur itu kebutuhan, supaya gak konstipasi. Maklum jauh dari rumah, lebih mudah stress dan lebih mudah konstipasi juga. Jadi harus dinetralisir dengan banyak makan sayur. Lagipula karena yang memasak sendiri dan dah merasakan mencari uang sendiri, rasanya kalo gak dihabisin mubazir... Hehehe...



Udah ah... kelamaan... Ini nih resepnya...

Semur Hati Ayam

Bahan:
5 buah hati ayam, cuci bersih
300 mL air
2 lembar daun salam
1 sendok teh merica bulat
4 buah bawang merah
3 siung bawang putih
1 sendok makan garam
2 sendok makan kecap manis
Penyedap rasa secukupnya

Cara membuat:

  1. Haluskan bawang merah, bawang putih, merica dan garam.
  2. Campur hati ayam dengan bumbu yang dihaluskan, remas-remas. Diamkan sebentar hingga bumbu meresap.
  3. Tuangkan air pada hati ayam, beri daun salam,  masak hingga mendidih. 
  4. Tambahkan penyedap rasa dan kecap manis. Masak hingga matang dan berwarna kecoklatan.



Tumis Sawi Hijau

Bahan:

1 ikat sawi hijau (bok coy), cuci, potong-potong
1 buah jagung manis, sisir
2 butir bawang merah, rajang halus
2 siung bawang putih, rajang halus
1 sendok teh merica bubuk
2 lembar daun salam
2 sendok makan ikan teri nasi (ini yang beli sama suami waktu di Madura, enak, katanya biasa diekspor)
1 sendok teh garam
1 sendok makan saus tiram
1 sendok makan petis tongkol (ini khas Madura, yang bawain ibu mertua. Rasanya gurih dan manis, gak kayak petis udang yang agak pahit. Biasa dipakai rujakan orang Madura. Kali ini coba saya buat bumbu masak, siapa tahu enak)

Cara Membuat:
  1. Tumis bawang putih dan bawang merah hingga harum, masukkan ikan teri, tumis hingga wangi.
  2. Tuang air, tambahkan garam, daun salam, petis, merica, saus tiram.
  3. Masukkan jagung, masak sampai jagung setengah matang.
  4. Masukkan sawi hijau, masak hingga matang.



Jadi deh, lauk dan sayurnya... Hidangkan dengan nasi hangat. Memang sederhana, tapi cukup lezat dan hemat bagi anak kost. Hehehe... :9

Minggu, 16 September 2012

Untuk Apa Aku Menikah

Untuk apa aku menikah?

Aku bisa hidup mandiri. Aku punya pekerjaan. Bisa menghidupi diriku sendiri.

Aku bisa melakukan “pekerjaan lelaki” sendiri, memindahkan perabot, mengganti bohlam yang putus, mengecat dinding...

Siapa sih yang butuh lelaki? Makhluk kasar yang mau menang sendiri...

Cinta? Aku sudah mendapatkan banyak cinta, lebih dari cukup, dari keluarga dan sahabatku.

Anak? Kalau mau aku bisa mengadopsi satu atau lebih, banyak anak yatim yang butuh perhatian.

Pelindung? Cukuplah Allah sebaik-baiknya pelindung. Kenapa harus bergantung pada sesama makhluk yang lemah?

Sahabat? Sahabat lelaki tiap hari obrolannya sepakbola. Lebih asyik sahabat wanita, obrolannya lebih nyambung, bisa diajak belanja baju dan memasak bareng.

Seks? Ini memang kebutuhan. Tapi tak seperti lelaki yang menganggap itu utama, wanita bisa hidup tanpa itu.

Menikah hanya mengekang kebebasanku sebagai perempuan, membatasi cita-citaku. Memang istri yang shalihah dan taat pada suaminya dijanjikan surga. Namun bukan perkara mudah untuk taat pada makhluk bernama suami, apalagi bagi makhluk semi egois sekaligus semi feminis sepertiku.

Yah, itu dulu... Argumen-argumen tentang pernikahan yang kususun rinci untuk melindungi ego keperempuananku, saat aku belum menemukan lelaki yang tepat.

Sejak aku berjumpa dengan lelakiku, argumen-argumen itu runtuh. Lelaki yang memberi bukti, bukan janji saja. Lelaki yang selalu mendukungku dalam kebaikan. Mengingatkanku untuk tidak merisaukan hal-hal kecil. Lelakiku yang perhatian meski kadang dengan cara yang tak kupahami. Aku sudah dibuat jatuh cinta olehnya.

Apakah karena lelakiku sempurna? Tidak, dia tidak sempurna. Sama sepertiku yang juga tak sempurna. Dua makhluk tak sempurna bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Bersama berusaha menggapai ridho Nya.

Sekarang aku tahu untuk apa aku menikah. Hal-hal diatas memang bisa diperoleh atau ditoleransi tanpa harus menikah. Tapi, tanpa menikah, aku tak memiliki kesempatan untuk berusaha jadi istri shalihah. Aku tak tahu betapa luar biasanya menjadi seorang istri. Tanpa menikah, hidupku tak kan lengkap tanpa dia.

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan dia taat kepada suaminya, niscaya dia akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki” (HR. Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Hurairah)