Selasa, 26 Juni 2012

Saat Saat Mr.Right Datang

Karena sedang berbunga-bunga... Ingin posting tentang hal yang bernuansa merah jambu. Saya ingin berbagi pengalaman saat-saat Mr.Right datang. Barangkali semua wanita lajang sering bertanya. Seperti yang dulu sering saya tanyakan. Apakah dia orangnya? Bagaimana bisa tahu, dia adalah jodoh yang ditakdirkan bersama? Well, banyak versinya. Ini versi saya, karena saya tak melalui masa pacaran yang lama seperti umumnya anak muda jaman sekarang [ciee,, emang saya masih muda ya? Hahaha...]. Saya mengenal calon suami dalam proses yang terhitung sangat singkat, melalui perantara kakak kandung saya. Proses pertemuan pertama saya hingga khitbah (lamaran) hanya 2 minggu, dan dari khitbah hingga rencana tanggal pernikahan hanya sekitar 2 bulan. Mungkin ada yang bertanya, kok bisa? Itu belum kenal namanya, kok mau menerima lamarannya? Banyak pertimbangan. Tapi memang, dia adalah lelaki yang pertama kali berani melamar saya.

Sebelum calon suami saya, saya juga sempat menjalani proses usaha menuju pernikahan. Sungguh memang rasanya beda jika dibandingkan dengan proses dengan calon suami. Mungkin ada yang bilang karena jatuh cinta, tapi bukan itu pembedanya. Ya, saya akui saya memang jatuh cinta. Apakah itu salah? Apakah menikah dengan proses islami tanpa pacaran tak boleh jatuh cinta? Beberapa senior bilang bahwa itu tak boleh, dengan alasan tak ikhlas karena Allah, dan menikah adalah ibadah yang harus ikhlas tanpa dinodai nafsu. Tapi bukankah Ali dan Fatimah juga saling jatuh cinta? Well, menurut saya cinta itu fitrah. Tapi apakah kita tak boleh mencintai lawan jenis yang kelak mungkin menjadi pendamping hidup kita? Apakah salah mencintai lelaki karena ketaatannya pada Allah, karena fisiknya yang menarik, karena hartanya yang melimpah, maupun karena kedudukan yang terhormat? Menurut saya itu lebih baik daripada tidak bisa mencintai jika sudah menikah, dan melayani suami dengan terpaksa. Wallahu 'alam.

Ini tanda-tanda yang saya rasa saat menjalani proses dengannya, yang mungkin orang-orang bilang dengan kemantapan, tentu saja selalu disertai dengan istikharah berulang-ulang,
  • Saat pertama bertemu, ketenangan saya rasakan. Grogi jelas lah. Namun tak ada perasaan cemas apakah dia orang yang tepat atau bukan? Tak ada perasaan cemas bagaimana jika saya harus menolaknya sementara agamanya baik, misalnya... Sedangkan jika ada orang yang agama nya baik melamar, jika ditolak bisa terjadi fitnah. Hal-hal yang dulu saya cemaskan saat berproses untuk ke arah pernikahan, saat itu tidak saya rasakan. Adanya hanya jika memang dia jodoh saya, yang rasanya seperti mendapat anugerah besar, pasti nanti didekatkan. Sedang jika bukan, rasanya insya Allah ikhlas, dan pasti dijauhkan sendiri. Rasanya sumeleh, terserah Allah, sang pangeran itu mau buat saya atau tidak.
  • Dulu saya melist beberapa kriteria suami idaman, dengan harapan bisa jadi pertimbangan untuk mendapat jodoh yang saya sukai. Ternyata, saat sudah bertemu dengannya, kriteria-kriteria yang dulu prioritasnya cukup penting pun, tak jadi masalah lagi.
  • Terasa dukungan dari orang terdekat yang kita percaya untuk dimintai pertimbangan. Terutama pihak keluarga, juga sahabat-sahabat dekat serta guru ngaji. Setidaknya jika tidak mendukung, adanya netral, tidak menentang.
  • Ini penting, saat berproses dengannya, kualitas ibadah saya cenderung membaik. Memotivasi ke arah lebih baik, bukan malah jadi futur.
  • Mudah menangkal godaan. Orang bilang orang mau menikah ada saja godaannya. Ketemu mantan pacar lah, jatuh cinta lagi lah... Well, saya juga sempat mengalami meski tidak boleh diceritakan detailnya. Namun itu tidak saya ikuti karena saya tidak ingin melepas sesuatu yang hampir pasti untuk sesuatu yang belum pasti meskipun tampak menggoda.
  • Lagi, terasa banyak kemudahan di setiap prosesnya. Saat khitbah dan penentuan tanggal, dari pihak lelaki dan pihak wanita mengajukan tanggal berapa saja yang diinginkan untuk hari H. Ini bukan hitung-hitungan hari baik, karena kami berusaha meninggalkan hal-hal seperti itu dan tiap hari itu baik. Ini tentang kapan keluarga besar bisa berkumpul bersama. Dari tanggal yang diajukan itu, terdapat waktu yang beririsan jika dibuat diagram Venn nya [haha, saya masih ingat pelajaran SMP]. Maka kami mengambil jalan tengah itu tanpa banyak perdebatan.
  • Setelah khitbah pun masih ada kemudahan-kemudahan yang terasa. Kebetulan saya dapat tugas internship dokter di NTB, setelah diundi lagi, saya dapat di Mataram, di kotanya. Itu saya rasakan kini sebagai kemudahan karena kotanya nyaman. Meskipun dulu saya berharap bisa mendapat undian di Jawa, namun kini saya merasa bersyukur karena disini jauh lebih menyenangkan dibanding dapat di pulau Jawa namun pelosok. Mencari kontrakan pun mendapat kemudahan, saya dan teman-teman mendapat kontrakan yang nyaman dan relatif murah karena kami dibantu orangtua teman kami yang asli Mataram. 
  • Saat meminta izin absen untuk menikah, dari dokter pendamping di puskesmas, lagi-lagi saya dapat kemudahan. Saya sudah menjelaskan dengan jujur bagaimana kebijakan dari dinkes, dimana cuti menikah harus mengganti. Namun dokternya berbaik hati mengizinkan saya memampatkan jatah libur 12 hari setahun untuk dipakai sekaligus, ditambah bonus 4 hari dari beliau, dengan begitu saya mendapat waktu luang 16 hari kerja untuk pulang ke Jogja dan menikah, yang tidak usah mengganti di belakang. Meskipun saat pengarahan di dinkes jogja, dikatakan cuti menikah harus mengganti hari, namun ternyata pelaksanaannya tergantung di masing-masing wahana.
  • Entah ini kemudahan atau bukan, tapi setidaknya membuat saya lebih tenang. Belakangan saya tahu kalau di dekat kontrakan saya ada 2 klinik bersalin yang ada dr.SpOG wanita. Sehingga jika kelak kami cepat diberi rizki momongan dan harus hamil dan melahirkan disini, kalau mau kontrol dekat. Hehe, saya kerja di puskesmas dan nantinya di RS yang ada dr.SpOG juga sih, tapi kan saya cemas andai ada patologis dan dr.SpOGnya laki-laki sedangkan saya malu diperiksa laki-laki. Jika fisiologis, kenalan bidan saya pun banyak dan baik-baik pula... Saya lebih suka ditolong persalinan oleh bidan dibanding dr.SpOG tapi laki-laki. Haha, agak lebay juga sih. Belum juga nikah dah mikir kalau hamil gimana. Masalahnya saya jauh dari keluarga, dan kelak belum jadi satu dengan suami setelah menikah karena suami harus bekerja juga. Setelah internship baru saya ikut suami. Jadilah itu membuat saya agak lebay gini.
Yah, itu hal-hal yang saya rasakan hingga kini. Mungkin bisa diambil hikmah bagi yang sedang bingung mau melanjutkan proses atau tidak, mau menerima lamaran atau tidak. Meskipun yang namanya kemantapan itu sifatnya sangat personal dan tak bisa disamakan satu sama lain. Namun ada satu hal yang saya simpulkan, jika sudah benar-benar mantap, maka kita tak akan bingung dan bertanya-tanya lagi kemantapan itu yang seperti apa. Sebelumnya saya juga pernah berproses, dan memang dulu saya selalu  bertanya-tanya, yang orang-orang bilang kemantapan hati sebagai jawaban dari istikharah itu yang bagaimana. Namun setelah merasakan sendiri, ya... beginilah rasanya.

Kini tinggal menghitung hari. Besok saya pulang ke Jogja, hari Ahad insya Allah hari H nya. Debaran-debaran itu tentu terasa. Namun debaran yang membahagiakan, bukan kecemasan dan ketakutan seperti saat menanti pengumuman kelulusan UKDI. Hehe... Kini tinggal memperkuat doa, semoga Allah melancarkan dan memberkahi pernikahan kami. Karena bagaimanapun, manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin, dan ujungnya segala sesuatu hanya akan terjadi atas izin dan takdir Allah.